Pasang Kode Disini
Powered by Blogger.

Problema Haid Menurut Islam


Pendahuluan



Menurut Syara', darah yang keluar dari kemaluan wanita itu ada tiga: Haid, Nifas dan Istihadloh. Yang merupakan perkara penting yang harus di jelaskan dan dimengerti hukumnya. Oleh karena itu bagi wanita wajib mengetahui tentang hukum yang berhubungan dengan ketiga darah tersebut, bahkan seorang suami tidak berhak melarang istrinya keluar rumah untuk mempelajari hukum tersebut kecuali seoramg suami telah faham atau mau belajar ke yang lebih pintar kemudian mengajarkan pada istrinya.

Pengertian Haid.


Secara bahasa (etimologi) Haid berarti mengalir, dan menurut Istilah Syara' adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita setelah berumur sembilan tahun bukan karena sakit atau melahirkan.
Jadi, Haid itu merupakan proses Fisiologis yang di alami oleh setiap wanita. Oleh karena itu antara wanita yang satu dengan wanita yang lain kemungkinan terjadi perbedaan yang nyata dalam mengeluarkan darah tergantung dari kondisi fisik dan iklim yang mempengaruhinya.

Sifat-sifat darah adalah:
Kental Berbau (bacin) Cair Tidak berbau Selain itu darah Haid mempunyai lima warna yaitu:
Kehitaman Merah Merah kekuning-kuningan. Kuning Keruh Dari sifat-sifat tersebut, sifat yang paling atas adalah sifat yang kuat (qowi),


Masa Haid:

Masa Haid paling sedikit 24 jam/sehari semalam. Masa Haid maksimal 15 hari. Masa Haid kebiasaan umam para wanita 6-7 hari.

Masa suci:

Masa suci minimal 15 hari. Masa suci maksimal tidak terbatas. Masa suci kebiasaan 23/24 hari.

Pengertian Nifas:

Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirakan sebelum selang 15 hari bersih dan tidak melebihi 60 hari.
Darang yang keluar bersamaan dengan keluarnya bayi tidak dapat dikatakan Nifas tetapi darah Tholq/Wiladah, begitu juga darah yang keluar setelah masa bersih 15 hari maka darah itu termasuk Haid kalau memenuhi persyaratan.


Masa Nifas:

Masa minimal: sebentar (Majjah)
Masa maksimal: 60 hari
Masa kebiasaan: 40 hari.

Suci diantara Haid dan Nifas:
Tidak ada ketentuan adanya pemisah diantara Haid dan Nifas cukup dengan adanya melahirkan sebagai pemisah.
Tapi kalau antara Nifas dan Haid harus ada pemisah walau sebentar kalau Nifas telah mencapai batas maksimal, tapi kalau tidak, maka pemisah itu setidak-tidaknya harus ada 15 hari atau kalau di gabung dengan Nifas melebihi 60 hari.

Pengertian Istihadloh:

Istihadoh adalah darang yang keluar pada hari-hari yang keluar atau melebihi masa Haid dan Nifas.

Penggolongan Wanita Istihadloh:

1. Mubtadiah Mumayyizah:

Pengertian: belum pernah Haid tetapi mampu membedakan sifat darah.
Syarat-syarat membedakan darah adalah:
1. Darah kuat tidak kurang dari batas minimal Haid ( 24 jam )
2. Darah kuat tidak melebihi batas maksimal Haid ( 15 hari ).
3. Darah lemah tidak tidak kurang dari batas minimal suci (15 hari ) jika darah terus menerus.
4. Darah yang lemah harus tidak terputus oleh darah kuat.

Ketentuan Hukum: Darah kuat di klasifikasikan Haid, dan yang lemah di anggap darah Mustahadloh.

2. Mubtadiah Ghoiru Mumayyizah:

Pengertian: belum pernah Haid dan tidak mampu membedakan sifat darah, termasuk kategori perempuan yang melihat darahnya denngan satu warna dan perempuan yang tidah memenuhi salah satu dari syaratnya membedakan darah.

Ketentuan hukum: Yang dihukumi Haid adalah sehari semalam yang awal, dan seterusnya adalah Haid.

3. Mu'taddah Mumayyizah:
Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan mampu membedakan sifat darah.

Ketentuan hukum: darah kuat di klasifikasikan Haid, dan yang lemah di anggap darah Mustahadloh, meski berbeda dengan kebiasaan masa Haidnya.

4. Mu'taddah Ghoiru Mumayyizah Dzakirah Li 'Adatiha Qodron wa Waqtan:

Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan tidak mampu membedakan sifat darah tetapi ingat kebiasaan dari masa Haid dan waktunya.

Ketentuan hukum: penghitungan Haid dikembalikan pada kebiasaan (adad).
Sedang penggunaan adad sebagai setandar hukum adalah:
1. Apabila adad Haid dan suci tidak berubah-rubah (tetap) maka Haid dan sucinya disamakan dengan adad tersebut secara tetap.
2. Apabila adad Haid dan suci berubah-rubah maka ada 7 kemungkinan:
a. Mencapai dua putaran secara tartib dan dia lupa urutannya beserta lupa Haid terakhir maka Haidnya adalah yang paling sedikit diantara Haid yang ada kemudian Ihtiyath (berhati-hati dalam hukum) sampai pada Haid terbanyak.
b. Mencapai dua putaran tapi tidak tartib dan dia lupa Haid terakhir maka Haidnya adalah yang paling sedikit diantara Haid yang ada kemudian Ihtiyath (berhati-hati dalam hukum) sampai pada Haid terbanyak.
c. Tidak mencapai dua putaran dan dia lupa Haid terakhir Haidnya adalah yang paling sedikit diantara Haid yang ada kemudian Ihtiyath (berhati-hati dalam hukum) sampai pada Haid terbanyak.
d. Mencapai dua putaran serta tartib dan dia lupa urutanya serta ingan Haid terakhir maka Haidnya adalah yang paling sedikit diantara Haid yang ada kemudian Ihtiyath (berhati-hati dalam hukum) sampai pada Haid terbanyak.
e. Mencapai dua putaran dan tidak tartib beserta ingat Haid terakhir maka Haid di kembalikan pada Haid bulan sebelum Istihadloh ketika ada.
f. Tidak mencapai dua putaran beserta ingat Haid terakhir maka Haid di kembalikan pada Haid bulan sebelum Istihadloh ketika ada.
g. Mencapai dua putaran dan tartib beserta ingat Haid terakhir maka Haid Haid sesuai dengan runtutan adadnya.

5. Mu'taddah Ghoiru Mumayyizah Nasiyah Li 'Adatiha Qodron wa Waqtan:

Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan tidak mampu membedakan sifat darah dan lupa kebiasaan dari masa Haid dan waktunya.

Ketentuan hukum: dia dihukumi Haid pada sebagian hukum ( bersenang-senang dengan suami antara pusar danlutut, membaca al-Quran selain dalam Sholat, membawa dan memegang al-Quran dan berhenti dan meliwati masjid bila hawatir mengotorinya). Dan dia dihukumi suci dalam sebagian hukum ( kewajiban menjalankan Sholat, puasa, thowaf talak dan I'tikaf ) dan dia setiap akan menjalankan sholat fardlu diharuskan mandi besar.

6. Mu'taddah Ghoiru Mumayyizah Dzakirah Li 'Adatiha Qodron La Waqtan:
10
Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan tidak mampu membedakan sifat darah tetapi ingat kebiasaan dari masa Haidnya saja dan waktunya tidak ingat.

Ketentuan hukum: hari yang diyaqini Haid di hukumi Haid, dan hari yang diyaqini suci dihukumi suci, dan hari yang ada kemungkinan suci dan Haid dihukumi sebagaimana orang yang lupa kebiasaan dari masa dan waktunya Haid (Mutahayyiroh).

7. Mu'taddah Ghoiru Mumayyizah Dzakirah Li 'Adatiha Waqtan La Qodron:

Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan tidak mampu membedakan sifat darah tetapi ingan kebiasaan dari waktu Haidnya saja dan masanya tidak ingat.

Ketentuan hukum:
hari yang diyaqini Haid di hukumi Haid, dan hari yang diyaqini suci dihukumi suci, dan hari yang ada kemungkinan suci dan Haid dihukumi sebagaimana orang yang lupa kebiasaan dari masa dan waktunya Haid

Catatan penting:
Darah masih di hukumi keluar (belum terputus) sekiranya kapas yang dimasukkan masih ada warnanya darah, walaupun warnanya keruh. Dan ketika kapas yang dimasukkan sudah tidak ada bercak darah, maka dihukumi bersih (putus darah). Haid atau suci yang diusahakan dengan obat itu sah dan boleh sepanjang tidak membahayakan tubuh dan aqal. Anggota tubuh (mis: kuku, ranbut dll) yang terputus saat hadats besar, itu tidak wajib dibasuh, yang wajib dibasuh sisa potongan yang masih melekat pada tubuh. Sedang sengaja memotong hukumnya haram.

Hal-hal yang diharamkan ketika Haid atau Nifas:

1. Melakukan bersuci (Thoharoh) dengan niat menghilangkan hadats atau niat Ibadah.
2. Sholat baik fardlu atau sunah atau Sujud.
3. Thowaf.
4. Berpuasa.
5. Membaca al-Quran.
6. Memegang mushhaf (al-Quran).
7. Bersetubuh atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antaru lutut dan pusar.
8. Dicerai.

Kewajiban perempuan Mustahadloh sebelum sholat:

Membersihkan kemaluanya dari najis. Menyumpal kemaluannya dengan kapas untuk mencegah keluarnya darah kecuali akan menuimbulkan sakit atau dia sedang berpuasa, apabila tidak cukup, maka di ikat supaya kuat. Berwudlu ketika waktu sholat sudah masuk. wajib langsung sholat kecuali menunggu jama'ah atau hal-hal yang berhubungan dengan Sholat.
Hal diatas wajib dilakukan setiap akan melakukan sholat Fardlu.

Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Wanita Haid


Kita meyakini wajibnya bersuci dari haid. Adapun haid itu adalah darah normal yang keluar dari dinding rahim pada saat-saat yang sudah maklum yang bukan disebabkan oleh penyakit atau terkena sesuatu. Sedangkan ketentuan batas minimal dan maksimalnya, permulaan dan berakhirnya merupakan perkara ijtihad.

Darah keruh dan kekuning-kuningan pada masa haid terhitung sebagai haid, sedangkan di luar masa haid tidak dianggap sebagai haid. Sementara istihadhah adalah darah yang keluar dari wanita di luar masa haid.

Dalam masalah ini (antara haid dan istihadzah), para wanita ada yang memiliki kebiasaan masa haid (siklus normal), ada juga yang bisa membedakan warna darah (mana haid dan mana yang bukan), dan ada juga yang tidak tidak tahu (tidak punya kebiasaan dan tidak bisa membedakan).

Wanita yang memiliki masa (siklus) haid yang normal maka ia berpatokan kepada kebiasaannya tersebut. Dan yang bisa membedakan darah haid dan selainnya, maka ia berpatokan pada kemampuan itu. Sedangkan wanita yang tidak mempunyai kebiasaan yang jelas dan tidak pula mampu membedakan antara haid dan bukan, maka ia berpatokan pada kebiasaan haid wanita di tempatnya: 6 hari atau tujuh hari setiap bulan. Lalu ia bersuci dan sesudah itu ia berwudlu pada setiap shalat.

Bagi wanita yang mengalami haid diharamkan shalat, berpuasa, thawaf di Ka’bah, menyentuh mushaf tanpa penghalang, tinggal di masjid, dan dilarang untuk disetubuhi di kemaluannya. Sedangkan bagi wanita beristihadhah, semua itu tidak dilarang.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah binti Hubaisy,

فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي

“Maka apabila datang haidmu, tinggalkan shalat. Dan apabila telah selesai, cucilah darah darimu (mandilah), lalu laksanakan shalat!.” (HR. Al-Bukhari)

Dan dalil yang menunjukkan bahwa wanita yang mengalami istihadhah beramal (berpatokan) pada kebiasaannya adalah hadits Fathimah binti Hubaisy, ia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Sesungguhnya saya wanita yang mengalami istihadhah dan tidak pernah suci, Apakah aku harus meninggalkan shalat?” Maka beliau menjawab, “Tidak, sesungguhnya itu hanya jenis darah (penyakit). Tetapi tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang kamu biasa haid, lalu mandilah dan shalatlah!” (HR. Al-Bukhari)

Juga hadits Ummu Habibah binti Jahsy, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang darah. Lalu beliau bersabda kepadanya, “Berhentilah selama darah haidmu menghalangimu, lalu mandi dan kerjakanlah shalat!” (HR. Al-Bukhari)

Tentang dalil bagi wanita yang mampu membedakan jenis darah haid dan yang bukan sehingga dia harus berpatokan pada kemampuannya tersebut adalah hadits Fathimah binti Hubaisy yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Nasa’i, di dalamnya terdapat sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya, “Apabila darah haid maka warnanya kehitaman yang sudah dikenal. Karena itu, tinggalkan shalat. Dan jika berwarna lain, maka berwudhu’lah dan kerjakan shalat!.”

Adapun dalil bahwa wanita yang tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak pula bisa membedakan jenis darah haid dengan selainnya, maka ia berpatokan pada kebiasaan kaum wanita di tempatnya adalah hadits Hamnah binti Jahsy. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya itu adalah gangguan dari syetan. Karenanya, jalanilah haidmu enam atau tujuh hari, lalu mandilah. Maka apabila engkau yakin telah suci, maka shalatlah 23 atau 24 hari (malam dan siangnya) dan berpuasalah. Sesungguhnya itu sudah cukup bagimu. Lakukanlah hal itu setiap bulan, sebagaimana haidnya para wanita dan masa suci mereka berpatokan masa haid dan suci mereka.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Tirmidzi. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 205)

Dalil yang menunjukkan bahwa cairan keruh dan kekuning-kuningan yang muncul di luar masa haid tidak dianggap haid adalah hadits Ummu ‘Athiyah:

كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ شَيْئًا

“Sesungguhnya kami tidak menganggap cairah keruh dan cairan kekuning-kuningan sebagai suatu masalah.” (HR. Al-Bukhari. Dalam Shahihnya, beliau membuat judul untuk hadits ini dengan, “Bab: Cairah Kekuning-Kuningan dan Keruh di Luar Masa Haid”.

Dan dalam riwayat Abu Dawud,

كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا

“Kami tidak menganggap cairan berwarna keruh dan kekuning-kuningan sesudah suci sebagai suatu masalah.”

Pernyataan Kunnaa (adalah kami) maksudnya adalah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) dan beliau mengetahui hal itu, ini memiliki hukum marfu’ (sampai kepada beliau). Dan yang dipahami dari hadits tersebut, cairan berwarna keruh dan kekuning-kuningan sebelum suci terhitung sebagai haid dan menempati hukumnya.

Dalil yang menunjukkan bahwa wanita haid harus meninggalkan shalat dan puasa adalah Hadits Abu Sa’id al-Khudri, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Bukankah apabila dia haid maka tidak shalat dan puasa?” Mereka menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda, “Maka itulah tanda dari kurangnya agama mereka.” (Muttafaq ‘alaih)

Juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah binti Hubaisy, “ . . . Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat. Dan apabila telah selesai, mandi dan shalatlah.” (HR. al-Bukhari)

Wanita haid diharamkan thawaf di Baitullah. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah saat ia haid, “Kerjakan semua yang dikerjakan jamaah haji, hanya saja engkau tidak boleh thawaf di Baitullah hingga engkau suci.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalil yang menjadi landasan diharamkannya wanita haid menyentuh mushaf adalah firman Allah Ta’ala,

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 79)

Dan juga sabda Nabi yang tertulis dalam surat yang dikirimkan kepada ‘Amru bin Hazm,

لا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidak menyentuh mushaf kecuali orang yang suci.” (HR. Nasai da lainnya. Dishaihkan al-Albani dalam shaih al-Jami’, no. 7780)

Dalil yang menunjukkan bahwa wanita haid tidak boleh berdiam diri di masjid adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“(Jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. Al-Nisa’: 43) Sedangkan wanita haid dan nifas tergolong dalam makna janabat menurut kesepakatan para ulama.

Wanita haid juga haram untuk disetubuhi berdasarkan firman Allah Ta’la,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dan juga dalam hadits ‘Aisyah, dia berkata: “Adalah salah seorang kami (para istri Nabi) apabila dia haid sementara Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkeinginan bercumbu dengannya, maka beliau menyuruhnya untuk menutupi tempat keluarnya haid dengan kain, kemudian baru beliau bercumbu dengannya.” ‘Aisyah berkata, “Siapa di antara kalian yang lebih bisa menahan gairahnya daripada Nabi.” (Fath al-Baari: I/403)

Dan juga hadits Anas dalam riwayat Muslim, dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

“Lakukanlah segala sesuatu selain jima’.”

* Ini adalah tulisan bersambung dari prinsip-prinsip Islam yang ke 61. Diterjemahkan oleh Badrul Tamam dari kitab Maa Laa Yasa’ al-Muslima Jahluhu, DR. Abdullah Al-Mushlih dan DR. Shalah Shawi.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Problema Haid Menurut Islam. Jika kamu suka, jangan lupa like dan bagikan keteman-temanmu ya... By : Kilas Info
Ditulis oleh: Unknown - Tuesday, March 22, 2011

Belum ada komentar untuk "Problema Haid Menurut Islam"

Post a Comment

Silahkan Berkomentar Secara Bijaksana.
Jangan Harap Komentar Isi Link Akan Saya Tampilkan.
Untuk Mendapatkan Backlink Silahkan Menggunakan OpenID Atau Format Nama & Url Pada Kolom Pengirim.