Pasang Kode Disini
Powered by Blogger.

Liberalisasi Islam di Indonesia


Ide sekularisasi Islam di Indonesia pertama kali digulirkan oleh Nurcholish Madjid pada 3 Januari 1970. Idenya itu diadopsi dari pemikiran Harvey Cox dengan bukunya yang terkenal berjudul The Secular City. Nurcholish mungkin tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah bagaikan membuka sebuah kotak pandora. Saat kotak itu terbuka, maka terjadilah peristiwa-peristiwa tragis yang susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi, hingga kini.

Harvey Cox menyebutkan bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Menurut Cox, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas sekularisasi, yaitu ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai. (Harvey Cox, The Secular: Secularization and Urbanization in Theological Perspective [New York: The Macmillan Company, 1967], hlm. 19-32).

Jadi, kata Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju ke ‘dunia kini’. Karena sudah menjadi suatu keharusan, kata Cox, kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab, sekularisasi merupakan konsekuensi autentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi. (Harvey Cox, The Secular: Secularization and Urbanization in Theological Perspective [New York: The Macmillan Company, 1967], hlm. 15).

Edisi pertama Buku The Secular City dicetak pada tahun 1965. Buku Cox ini mencetuskan cause celebre agama di luar jangkauan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan best seller di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi.

Pengaruh buku ini ternyata juga melintasi batas negara dan agama. Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali sangat terpengaruh oleh buku tersebut. Di antara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effedi, dan Ahmad Wahib. (Lihat Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia 1965-1998″, dalam Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of Dialogue Today [Leuven: Peeters, 2000], hlm. 85). Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan harian, yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya.

Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish Madjid, yang ketika itu menjadi ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Dan pada tanggal 12 Januari 1970 Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jalan Menteng Raya 58. Ketika itu Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 21 Oktober 1992 dengan judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”.

Kini setelah 30 tahun berlangsung, arus sekularisasi dan liberalisasi itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Arus itu merambah ke berbagai sisi kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan. Penyebaran paham “pluralisme agama”, “dekonstruksi agama”, “dekonstruksi kitab suci”, dan sebagainya kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi-organisasi Islam–sebuah fenomena yang ‘khas Indonesia’. Paham-paham ini menusuk jantung Islam dan berusaha merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Dari Tradisi Yahudi dan Kristen

Agama Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini Liberal Judaism (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sangat jauh. Bahkan, agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari peradaban Barat.

Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (Edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen. Tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama di luar itu dilarang. Bahkan, sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Akan tetapi, Kristen tergerus arus yang tak dapat dihindarinya, yaitu sekularisasi dan liberalisasi. Jika dicermati lebih jauh, perekembangan gereja-gereja di Eropa kini sudah memprihatinkan. Seorang aktivis Kristen asal Bandung memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa dalam bukunya yang berjudul Gereja Modern, Mau ke Mana? (1995). Kristen benar-benar kelabakan dihantam nilai-nilai sekularisme, modernisme, liberalisme, dan ‘klenikisme’.

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99% penduduknya beragama Kristen. Kini tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja. Mayoritas dmereka sudah sekuler. Di Perancis yang 95% penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13%-nya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali. Di Jerman pata tahun 1987, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan bahwa agama sudah tidak diperlukan lagi. Di Finlandia, yang 97% Kristen, hanya 3% yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90% Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3% yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat–sebelum bersatu dengan Jerman Timur–terdapat 30.000 pendeta. Tetapi, jumlah paranormal (witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul Homosexuality and a Pastoral Church, mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengizinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan, begitu juga praktik-praktik perzinaan, minuman keras, gambar dan video khusus dewasa, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif: diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, para pastor gereja Anglikan di New Hampshire AS telah sepakat mengangkat seorang uskup homoseks bernama Gene Robinson pada November 2003. Kaum Kristen yang homo itu merombak ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Progam Liberalisasi Islam

Secara sistematis, liberalisasi Islam di Indonesia sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an. Secara umum ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi: (1) liberalisasi bidang aqidah, dengan penyebaran pluralisme agama, (2) liberalisasi bidang syariah, dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu, dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al-Qur’an.

Dr. Greg Barton, dalam disertasinya di Monash University, Australia, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu (1) pentingnya konstektualisasi ijtihad, (2) komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (3) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (4) pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. (Tahun 1999 disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia [1999: xxi]).

Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama–yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern–dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.

Liberalisasi Aqidah Islam Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena kerelatifannya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya sendiri yang lebih benar dari agama lain, atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar.

Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini pernyataan-pernyataan mereka.

1. Ulil Abshar Abdalla

Ia mengatakan, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah Gatra, 21 Desember 2002). Ia juga mengatakan, “Larangan beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam denan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.” (Kompas, 18/11/2002).

2. Budhy Munawar Rahman

Ia mempromosikan teologi pluralis sebagai berikut. “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada kebenaran semua agama, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai ‘orang yang beriman’, dengan makna ‘orang yang percaya dan menrauh percaya kepada Tuhan’. Karena itu, sesuai QS 49: 10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman.” Budhy menyimpulkan, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antar-agama yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman–tanpa harus melihat agamanya apa–adalah sama di hadapan Allah. Karenanya, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.” (Lihat artikel Budhy Munawar Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan antar-Agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia [Jakarta: JIL, 2002], hlm. 51-53).

3. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan (dosen UIN Yogyakarta)

Ia berpendapat, “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan, dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.” (Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar [Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002], hlm. 44).

4. Prof. Dr. Nurcholish Madjid

Ia menulis, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama.” (Lihat buku Tiga Agama Satu Tuhan [Bandung: Mizan, 1999], hlm. xix).

5. Dr. Alwi Shihab

Ia menulis, “Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur’an adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, denan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamanaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur’an. Sebab, Al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.” (Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama [Bandung: Mizan, 1997], hlm. 108-109).

6. Sukidi (alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama)

Ia menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004), “Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzche menegasikan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama–entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya–adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama.”

7. Dr. Luthfi Assyaukanie (dosen Universitas Paramadina)

Ia menulis, “Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkap dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005).

8. Nuryamin Aini (dosen Fak. Syariah UIN Jakarta)

Ia menulis, “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.” (Lihat buku Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 223).

Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Fondation, adalah mereka-mereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11, tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Ditulis dalam jurnal ini sebagai berikut.

“Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpenaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.” (Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islam: Dari Eksklusivisme Menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi no. 11, tahun 2001).

Di jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis, “Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah.” (M. Amin Abdullah, “Pengajaran Kalam dan Teknologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama”, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi no. 11, tahun 2001).

1. Relativisme Kebenaran

Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan perguruan tinggi Islam. Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang. Dengan paham ini, seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari paham ini, lahirlah sikap keragu-raguan dalam meyakini kebenaran. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian.

Akar dari nilai-nilai ini adalah paham Sofisme pada zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu. Sehingga, berbagai peraturan yang mereka hasilkan tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.

Mereka yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah, ibarat meminum air laut yang tidak pernah menghilangkan rasa haus.

Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka; (tambahan: perhatikan akhir hayat mereka). Tidak ada kebahagiaan yang abadi yang dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Qur’an sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini: “Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka, siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jaatsiyah: 23).

Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal Allah SWT telah menegaskan bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19). “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85).

Keyakinan akan kebenaran dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kiyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.

2. Liberalisasi Al-Qur’an

Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi kitab suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni bidang ini dan menulis satu buku berjudul Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testament.

Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” Al-Qur’an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al-Qur’an. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan, “Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”

Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi Al-Qur’an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang bermasalah sebagaimana Bible. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum muslimin bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang bebas dari kesalahan.

Beratus-ratus tahun wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini suara-suara yang menghujat Al-Qur’an justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam. Mereka menjiplak dan mengulang-ulang apa yang dahulu pernah disuarakan para orientalis.

Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal, menulis, “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat.” (Jawa Pos, 11 Januari 2004).

Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan, “Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Alquran.” (Lihat makalah Taufik Adnan Amal berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia [Jakarta: JIL, 2002], hlm. 78).

Di dalam buku Menggugat Otentisitas Wahyu, hasil tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang ditulis oleh Aksin Wijaya, ditulis secara terang-terangan hujatan terhadap kitab suci Al-Qur’an. “Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dahulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan sbsolue, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” (Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan [Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004], hlm. 123).

Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie, juga berusaha membongkar konsep Islam tentang Al-Qur’an. Ia menulis: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formasilasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.” (Luthfi Assyaukani, “Merenungkan Sejarah Alquran”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 1).

Pada bagian lain buku terbitan JIL tersebut, ada juga yang menulis, bahwa ‘Al-Qur’an adalah perangkap bangsa Quraisy’, seperti dinyatakan oleh Sumanta Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang. Ia menulis: “Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan ‘perangkap bangsa Arab’, dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi ‘perangkap’ bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.” (Sumanto Al-Qurtubhy, “Membongkar Teks Ambigu”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed) Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 17).

Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang Al-Qur’an secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekadar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap Al-Qur’an. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan.

Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam meyerang Al-Qur’an juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik Al-Qur’an dan studi hermeneutika di perguruan tinggi Islam. Di antara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammad Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Sekarang Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap Al-Qur’an dan syariat Islam.

Kaum muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika Al-Qur’an dan ilmu tafsir Al-Qur’an dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa dari Islam ?

3. Liberalisasi Syariat Islam

Inilah aspek yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti dijelaskan Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah “kontekstualisasi ijtihad”. Salah satu hukum yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara muslimah dengan laki-laki non-muslim.

Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid: “Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis …. Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran Al-Qur’an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.” (Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal [Jakarta: Paramadina, 2003], hlm. xi).

Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, ” Al-Qur’an menunjukkan bahwa risalah Islam–disebabkan universalitasnya–adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karna itu, Al-Qur’an harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja.”

Kontekstualisasi para pembaru agama Islam ala Nurcholish Madjid ini tidaklah sama dengan teori asbabun nuzul yang dipahami oleh kaum muslimin selama ini dalam bidang ushul fiqih. Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian berlebihan terhadap metode Nurcholish Madjid: “Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekadar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman.” (Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal [Jakarta: Paramadina, 2003], hlm. xii).

Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholsih sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur’an.

Karya kaum liberal di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat, bahkan merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku Fiqih Lintas Agama tertulis: “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena keududukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” (Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama [Jakarta: Paramadina & The Asia Foundation, 2004], hlm. 164).

Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang terbukti sangat destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan kontekstualisasi, maka kaum liberal melakukan penghancuran dan perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang sudah pasti (qath’iy), seperti hukum perkawinan muslimah dengan laki-laki non-muslim.

Prof. Musdah Mulia, tokoh feminis, juga melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Ia menulis: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60: 10, pen), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.” (Musdah Mulia, Muslimah Reformis [Bandung: Mizan, 2005], hlm. 63).

Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga membuat pernyataan yang menggugat hukum perkawinan antar-agama. Ia menulis: “Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim …. Isu yang paling mendasar dari larangan PBA (Perkawinan Beda Agama, red) adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis.” (Lihat buku Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 220-221).

Entah kenapa, di Indonesia, yang mayoritas muslim, kaum liberal berusaha keras untuk menghancurkan hukum perkawinan antar-agama ini, seolah-olah ada kebutuhan mendesak kaum muslim harus kawin dengan non-muslim. Ulil Abshar Abdalla, di harian Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.” Bahkan, lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai ‘penghulu swasta’ yang menikahkan puluhan–mungkin sekarang sudah ratusan–pasangan beda agama.

Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (seperti QS 60: 10). Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan, “Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat.”

Ketika hukum-hukum yang pasti dirombak, maka terbukalah pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai dan hukum Islam. Dari IAIN Yogyakarta muncul nama Muhidin M. Dahlan, yang menulis buku memoar berjudul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, yang memuat kata-kata berikut: “Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur dan anak haram pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tak pantas menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya.” (Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah, SriptaManent dan Melibas, 2005, cetakan ke-7).

Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia. “Bentuk riil gerakan yang harus dibangun adalah (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (Lihat buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual [Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005], hlm. 15).

Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang muslim pun: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”

4. Faktor Asing

Setelah Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan khusus terhadap Islam. Pada masa Perang Dingin, Komunisme dianggap sebagai musuh utama, sehingga Barat bersama-sama dengan Islam menghadapi komunisme, seperti yang terjadi di Afghanistan. Tetapi, setelah komunis runtuh, musuh bagi Barat berikutnya adalah Islam.

Karena Islam dipandang sebagai musuh atau ancaman potensial bagi Barat, maka berbagai daya upaya dilakukan untuk ‘menjinakkan’ dan melemahkan Islam. Salah satu program yang kini dilakukan adalah dengan melakukan proyek liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan dunia Islam lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu saja masih menjadi bagian dari ‘tiga cara’ pengokohan hegemoni Barat di dunia Islam, yaitu melalui program kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme.

David E. Kaplan menulis bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka kampanye untuk–bukan hanya mengubah masyarakat muslim–tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Terjemahan dari David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005).

Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham liberalisme dan pluralisme agama di Indonesia adalah The Asia Foundation. Untuk menanamkan paham dan nilai-nilai inklusif dan pluralis di kalangan muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai kelompok berbasis muslim sejak tahun 1970-an. The Asia Foundation saat ini mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis, nonkekerasan, dan toleransi beragama. Dalam bidang pendidikan kewarganegaraan, HAM, rekonsiliasi antar-komunitas, kesetaraan gender, dan dialog antar-agama, The Asia Foundation juga bekerja sama dengan LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu mencakup training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi wanita, dan sebagainya. (http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html. Website The Asia Foundation sampai dengan 24 Maret 2006, masih menulis tajuk pembukanya dengan kata-kata: “REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA”).

Organisasi-organisasi di Indonesia yang diberikan pendanaan oleh The Asia Foundation di antaranya: 1. Yayasan Desantara (Pluralisme agama, penerbit majalah Syir’ah). 2. Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (Elsad) (Pluralisme agama dan demokrasi). 3. Fahmina Institute (Pluralisme gender equality). 4. Indonesia Center for Civic Education (Demokrasi). 5. International Center for Islam Pluralism (ICIP) (Pluralisme agama). 6. Indonesia Conference on Religion and Peace (Pluralisme agama). 7. Institut Arus Informasi (ISAI) (Pluralisme dan jurnalisme). 8. Jaringan Islam Liberal (JIL) (Liberalisasi pemikiran). 9. Paramadina (Pluralisme agama). 10. Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) Padang (Demokrasi) 11. Pusat Studi Wanita-UIN- (Gender equality). 12. Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) (Gender equality). 13. Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) (Penerbitan buku-buku pluralisme). 14. Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul Ulama (Pluralisme agama, dekonstruksi syariah). 15. Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (Pluralisme agama). 16. Dan puluhan LSM serta organisasi sejenis lainnya.

Kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam juga pernah diungkapkan oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. “AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka.” (Harian Republika, 3/12/2005).

Maka, dengan dukungan dana yang besar-besaran, AS dan sekutunya, serta kaki tangannya di Indonesia, berupa LSM-LSM asing, kemudian melakukan program perubahan dan penghancuran pemikiran Islam secara besar-besaran. Tetapi, sayangnya ada saja sebagian kalangan umat dan lembaga Islam yang terpengaruh oleh iming-iming duniawi dari lembaga-lembaga asing yang sedang bergentayangan mencari mangsa bersama para kaki tangannya di Indonesia.

5. Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam

Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan yang lainnya adalah pelopor liberalisasi Islam di organisasi Islam dan masyarakat. Adapun Harun Nasution adalah pelopor liberalisasi Islam di kampus-kampus Islam. Ketika menjadi rektor IAIN Ciputat, Jakarta, Harun mulai melakukan gerakan yang serius dan sistematis untuk melakukan perubahan dalam studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.

Pada Agustus 1973 rektor IAIN se-Indonesia mengadakan rapat di Ciumbuluit Bandung. Hasil dari rapat itu adalah Departemen Agama RI memutuskan buku karya Harun Nasution sebagai buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam. Buku kontroversial yang ditulis Harun itu berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Harun Nasution ketika itu mengakui tidak semua rektor menyetujuinya. Sejumlah rektor senior menentang keputusan tersebut. Tetapi, entah mengapa keputusan itu tetap dijalankan oleh pemerintah.

Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya: “Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.” (HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’ [Jakarta: Bulan Bintang, 1977], hlm. 13).

Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasihatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977 lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.

Nasihat Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini, mengingat buku Harun itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal, baik secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Salah satu contoh kesalahan fatal itu seperti berikut. Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain. Agama-agama lain, selain Islam, merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical and cultural religion). Harun menyebut agama-agama monoteis–yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama tauhid’–ada empat: Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama, kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Harun menambahkan bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Adapun kemurnian tauhid agama Kristen dengan adanya paham Trinitas, sebagaimana diakui oleh ahli-ahli perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi. (Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya [Jakarta: UI Press, cet ke-6, 1986], Jilid I, hlm. 15-22).

Kesimpulan Harun bahwa agama Yahudi itu sebagai agama tauhid murni, seperti halnya agama Islam, adalah kesimpulan yang ngawur dan tidak berdasar. Kalau Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Yahudi itu kafir ahlul kitab? Kesimpulan Harun itu jelas mengada-ada. Sejak lama Prof. Rasjidi sudah memberikan kritik keras bahwa uraian Dr. Harun yang terselubung uraian ilmiah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam. Bahayanya adalah memudarkan keimanan atau kayakinan seseorang terhadap kebenaran agama yang dipeluknya.

Namun anehnya, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag dan IAIN. Malah, bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan yang memuji-muji Harun Nasution secara tidak proporsional. Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar, misalnya, menulis: “Karena itu, beliau diteladani oleh para intelektual maupun generasi berikutnya. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam menyemaikan ide pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia.Tokoh-tokoh elitis kaum pembaru dimaksud diantaranya; Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathudin, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Ma’arif, Muhammad Amien Rais dan Kuntowijoyo …. Harun sangat tepat disebut pemancang perubahan dalam tradisi akademik di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia.” (Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional [Ciputat Press, 2005], hlm. xvi-xvii).

Meskipun bukan bidangnya, Prof. Malik Fadjar juga ikut-ikutan memberikan pujian berlebihan dan tanpa sikap kritis terhadap Harun Nasution: “Usaha dan kerja keras Harun Nasution dalam pengembangan Islamic Studies di Indonesia patut dihargai. Harun seyogyanya dianugerahi sebagai tokoh Islamic Studies di Inonesia.” (Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional [Ciputat Press, 2005], back cover).

Secara kualitas dan teknik penulisan ilmiah, buku Harun itu sebenarnya juga sudah perlu direvisi total. Tetapi, sekali lagi, kesalahan yang fatal itu dibiarkan saja selama 30 tahun lebih. Jika buku yang mengandung ‘virus pemikiran’ itu diajarkan secara terus-menerus, bisa dipahami, jika kerusakan yang sudah semakin parah itu telah menular ke mana-mana. Entah mengapa, masalah yang serius dan separah ini sekian lama dibiarkan oleh lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Hingga kini belum ada lembaga Islam, khususnya perguruan tinggi Islam, yang secara resmi meminta pemerintah menarik kembali buku Harun Nasution tersebut.

Kini telah kita ketahui bahwa ternyata umat Islam Indonesia benar-benar sedang menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di tengah berbagai krisis dan keterpurukan, umat Islam direkayasa, dirusak, dan diserbu besar-besaran dengan paham-paham syirik modern dan berbagai pemikiran liberal. Sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat Islam sedang dibongkar habis-habisan.

Ironisnya, ujung tombak dari penyebaran paham ini justru berasal dari individu, tokoh, cendekiawan, ulama, dan lembaga yang secara formal menyandang nama Islam. Tentu saja ini tantangan yang sangat berat. Para ulama yang seharusnya menjaga agama justru malah merusak agama. Inilah zaman fitnah, zaman yang tidak jelas lagi mana yang haq dan mana yang bathil.

Rasulullah saw. sudah pernah mengingatkan: “Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk, dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).

Juga, sabdanya, “Termasuk di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang Al-Qur’an.” (HR Thabarani dan Ibn Hibban).

Di tengah ujian berat proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran ini, kita berdoa, mudah-mudahan tidak banyak orang yang tergoda oleh berbagai bujukan dan tipuan duniawi yang ditujukan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam.

Bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tantangan yang terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam, maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari asasnya, baik aqidah Islam, Al-Qur’an, maupun syariat Islam.

Kita harus membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah kita dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah SWT.

“Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya. Allahumma amin.”

Sumber: Diringkas dari Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data, Adian Husaini, M.A. (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2007), hlm. 1-72.


Oleh: Abu Annisa


Pusat Kajian Islam

www.alislamu.com

Sumber: Alislamu
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Berita Islam dengan judul Liberalisasi Islam di Indonesia. Jika kamu suka, jangan lupa like dan bagikan keteman-temanmu ya... By : Kilas Info
Ditulis oleh: Unknown - Sunday, May 8, 2011

Belum ada komentar untuk "Liberalisasi Islam di Indonesia"

Post a Comment

Silahkan Berkomentar Secara Bijaksana.
Jangan Harap Komentar Isi Link Akan Saya Tampilkan.
Untuk Mendapatkan Backlink Silahkan Menggunakan OpenID Atau Format Nama & Url Pada Kolom Pengirim.