Desa Paringan di Ponorogo yang Semakin Banyak Dihuni Pengidap Schizophrenia (Gila)
Pak Kades Sering Urunan Bawa Warga yang Kumat ke RSJ
SELAIN kampung idiot, di Ponorogo terdapat kampung yang juga menyedihkan. Kampung tersebut dijuluki kampung sinting. Sebab, di daerah itu jumlah orang yang mengidap schizophrenia (gila) cukup banyak. Ketika didata Maret lalu, jumlahnya 51 orang. Tak sampai tiga bulan kemudian, jumlahnya bertambah menjadi 62 orang.
Sekilas, Desa Paringan, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, tak begitu berbeda dengan desa-desa lain. Alamnya cukup subur. Rata-rata penduduknya bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan Rp 300 ribu - Rp 400 ribu per bulan. Tapi, yang membedakan desa itu dengan desa kebanyakan adalah kondisi warganya.
Kondisi warga desa itu cukup memprihatinkan. Ada 19 orang idiot dan 91 orang cacat fisik. Yang paling menyedihkan, 62 warga didiagnosis schizophrenia (orang umum melihatnya sebagai gila alias sinting, Red). "Kemungkinan bisa bertambah. Sebab, yang sebelumnya terlihat normal-normal saja tiba-tiba besoknya bisa terkena (schizophrenia)," kata Kepala Desa Paringan M. Sarfin kepada Jawa Pos.
Sarfin mencontohkan, ketika mulai didata secara serius pada Maret lalu, penderita schizophrenia masih 51 orang. Namun, tak sampai tiga bulan kemudian, jumlahnya menjadi 62 orang. "Sekitar dua minggu lalu, seorang TKI asal desa ini yang baru pulang dari Libya tiba-tiba terkena," kata pria 65 tahun itu. Untuk ukuran desa di Ponorogo, jumlah ini sangat mencolok.
Hingga kini, penyebab banyaknya penderita schizophrenia di desa tersebut masih sama misteriusnya dengan penyebab schizophrenia. "Pernah ada satu tim dari RSJ Lawang dan Dinkes Ponorogo yang datang untuk meneliti. Tapi, hingga sekarang kami belum tahu penyebabnya," terang Sarfin.
Heru Setiawan, salah satu staf di balai Desa Paringan, menduga, schizophrenia kian banyak terjadi karena dipicu masalah pribadi. "Seperti salah satu warga kami. Karena gagal ikut audisi menyanyi, dia langsung stres dan gila sampai sekarang," kata pria yang belakangan kian sibuk menjadi tandem Sarfin dalam menolong warga yang sedang "kumat" itu.
Sebelum pendataan pada Maret lalu, Sarfin mengaku sudah kerap dimintai tolong penduduk desanya. Ini seperti yang dilakukan Ny Demes, salah satu warganya. Nasib Demes memang yang paling malang. Tiga anak lelakinya mengidap schizophrenia. "Beberapa kali dia (Demes, Red) minta tolong kepada saya untuk membuang anaknya. Saya kan juga bingung. Mosok mau buang anak orang," tuturnya.
Di sisi lain, Sarfin juga memahami kekhawatiran Demes. Beberapa kali tiga anak Demes itu beramai-ramai memegangi ibunya dan seperti akan berbuat tak senonoh. "Hingga sekarang Bu Demes tak pernah berani lagi tidur di rumahnya. Kalau siang memang ada di rumah. Namun, kalau malam, tidurnya berpindah-pindah," tambahnya.
Pernah, lanjut Sarfin, seorang pemuda pengidap schizophrenia yang mendadak mengamuk. Tak tanggung-tanggung, saat itu tangan kanannya membawa kapak dan tangan kiri memegang perkul (semacam sabit pemotong rumput). "Polisi yang datang saja sampai tak berani mendekat. Kami serbasalah. Kalau dia nyabit, tak ada hukumnya dan dia tak berpikir apa-apa. Sementara kalau kami yang keras, dan terlalu keras, bisa dianggap menganiaya. Serbasusah," ucapnya.
Kalau sudah ada warga desa itu yang kelewatan ngamuknya, biasanya Sarfin, Heru, dan warga lain patungan membawanya ke RS Jiwa Lawang. Di sana warga itu diobatkan sementara, lalu dibawa pulang. "Ketika kami membawa warga yang kumat ke RSJ, minimal ada enam orang yang berjaga. Jadi ketika makan, tiga orang makan, tiga orang lainnya berjaga di mobil. Gantian," katanya, lantas tertawa.
Selain untuk biaya membawa warganya ke RSJ Lawang, Sarfin dan warganya sering urunan untuk memperbaiki rumah warga yang rusak akibat amukan pengidap schizophrenia.
Ketika ditanya tentang alasan baru mendata warga yang gila pada Maret lalu, ternyata ada kisahnya. Saat itu pagi-pagi buta, rumah Sarfin didatangi dua polisi. Mereka menangkap dan menyerahkan Darnu, salah seorang warga Desa Paringan (salah satu dari anak Ny Demes, Red) kepada Sarfin. Darnu ditangkap karena mengamuk dan hendak membakar motor di pusat Kota Ponorogo. "Rupanya setelah diinterogasi, Darnu ngomongnya tak nyambung. Polisi menyerahkan kepada saya untuk ditangani," kata Sarfin.
Dia dan beberapa warga kemudian membawa Darnu ke RSJ Lawang. Pihak RSJ kemudian mengontak Sarfin dan menanyakan apakah memang banyak warganya yang gila. "Petugas RSJ sempat curiga, kok selalu ada kiriman pasien gila dari Desa Paringan," paparnya. RSJ Lawang kemudian memberikan bantuan obat penenang ke Puskesmas Desa Paringan, tapi jumlahnya sangat terbatas.
Sejak saat itulah Sarfin mulai mendata warganya. Hasilnya, ada 51 warga yang gila. "Maka, ketika orang-orang akhirnya menjuluki sebagai kampung sinting, kami bisa memahaminya. Nyatanya memang seperti itu," terang Sarfin. Data ini kemudian diketahui secara luas di Ponorogo.
Ketika informasi tentang kampung sinting itu tersebar luas, alih-alih segera mendapat pertolongan, Sarfin dan Heru justru dimarahi. Dua orang tersebut bahkan sempat dipanggil oleh Komisi A DPRD Ponorogo dan dimarahi. Alasannya cukup aneh. Mereka dituding membuka aib Ponorogo. Sesuatu yang sangat sulit dinalar. "Saya tak mau memperpanjang masalah. Saya hanya diam dan bilang iya-iya. Tapi, sekarang sudah baik kok," tuturnya.
Bukan itu saja. Sarfin pun sempat ditelepon oleh para TKI asal Desa Paringan yang kini bekerja di luar negeri. Mereka marah-marah karena malu kampungnya disebut kampung sinting. Bukan itu saja, wartawan Radar Madiun (Jawa Pos Group) yang ngepos di dewan Ponorogo juga disindir oleh kalangan dewan sebagai wartawan sinting.
Tapi, Sarfin tetap tegar. "Faktanya memang seperti itu dan kami sudah cukup susah dengan fenomena ini. Kami tak ingin menutup-nutupinya," katanya.
Apalagi, karena keterbatasan ekonomi dan fasilitas, penanganan para penderita schizophrenia di Desa Paringan sangat minim. Bila kumat, mereka baru dibawa ke RSJ. Padahal, terapi penderita schizophrenia harus berkelanjutan, seumur hidup, dan tak boleh putus. "Kalau sempat terputus, akan semakin sulit penyembuhannya. Begitu kata dokter di RSJ Lawang. Tapi, kami tak mampu melakukannya," tambahnya.
Obat-obatan untuk penderita schizophrenia bisa mencapai Rp 350 ribu per bulan. Ini masih di atas rata-rata "pendapatan per kapita" penduduk setempat. "Itu pun beli di apotek dengan harga paling murah," terang Sarfin.
Di puskesmas memang ada obat gratis sumbangan RSJ Lawang. Namun, jumlahnya terbatas. Kadang baru dua minggu, jatah obat tersebut sudah habis. Ketika cerita tentang kampung sinting ini beredar, sejumlah bantuan pun datang. Di antaranya dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Surabaya. Mereka berencana mendirikan sebuah panti rehabilitasi di bekas gedung sekolah di kampung itu yang sudah tak terpakai. Rencananya, ada tempat rawat inap dan dua dokter. Bagaimana operasionalnya" "Itu yang kami belum tahu," kata Sarfin.
Bantuan lain datang dari Semen Gresik. Perusahaan tersebut berkomitmen merenovasi 30 rumah di desa tersebut agar menjadi rumah yang layak huni.
Bagaimana bantuan pemerintah" "Hingga kini belum ada. Sempat ada anggota dewan yang berencana mencarikan bantuan kambing bagi keluarga para pengidap, namun sampai sekarang belum terealisasi," kata Sarfin.
Ini cukup ironis. Sebab, keluarga yang memiliki pengidap schizophrenia pasti juga sangat menderita. Ini seperti yang dialami Ranti. Dulu kehidupan perempuan 60 tahun tersebut tergolong mampu. Dia mempunyai tanah yang luas dan kebun. Namun, semuanya berubah ketika anak tunggalnya, Salamah, mengidap schizophrenia sejak 2002. Sembilan tahun merawat Salamah membuat Ranti kini hanya punya rumah yang ditempatinya. Semua kebun dan tanahnya yang luas sudah ludes. Kini dia dan suami mengandalkan perawatan Salamah dari pekerjaan sebagai buruh tani, plus bila ada tetangga yang menaruh iba.
Kisah Salamah juga cukup tragis. Pada Oktober 2010 dia menggorok lehernya sendiri karena mengira bahwa yang diiris adalah daun pisang. Untung, aksinya segera diketahui tetangga. "Saya sampai menangis melihatnya. Dia terlihat lugu dan tak merasa sakit, sementara lehernya sudah mengucurkan darah," kata Lamini, tetangga depan rumah Salamah yang ikut menyelamatkannya saat itu.
Sebelumnya Salamah adalah perempuan yang cukup cerdas. Sejak SD sampai SMA, Salamah menduduki peringkat satu. Lulus SMA pada 2000, Salamah mengikuti kursus bahasa (sebagai salah satu penghasil TKI, Ponorogo mempunyai banyak kursus bahasa, seperti Korea, Jepang, Tiongkok. Ponorogo juga merupakan kota kecil yang mempunyai money changer).
Tak sampai setahun, Salamah boleh dibilang polyglot. Perempuan 29 tahun itu cukup lancar cas cis cus dalam lima bahasa. Yakni, Inggris, Arab, Mandarin, Korea, dan Jepang. Merasa sudah cukup bekal, dia merantau mencari kerja. Sempat bekerja di Gresik, di Bali, hingga akhirnya Salamah bekerja di Jakarta. Tak jelas apa kerjanya di Jakarta, pada 2002 Salamah mendadak pulang dalam keadaan depresi. Hanya omongan tak nyambung yang bisa diucapkannya.
"Saya disuruh makan krupuk, saya takut, saya dibawa ke gudang. Saya sakit," ucapnya ketika Jawa Pos bertanya tentang pekerjaannya di Jakarta. "Begitu itu terus jawabnya sejak semula," kata Heru, yang juga ikut dalam wawancara tersebut.
Satu kisah ekstrem mengenai penderitaan orang gila dan keluarganya adalah keluarga Sanem. Anak semata wayangnya, Supri, sudah 24 tahun ini dipasung di pekarangan belakang rumah. Perutnya diikat dengan sebuah rantai besar yang dililitkan hingga tembus ke dalam rumah. Di pinggir kiri-kanannya dibuat lubang berdiameter hingga satu meter dan sedalam satu meter. Juga ada cekungan-cekungan di tembok tersebut.
"Itu kebiasaan Supri. Kalau marah, dia mencakar-cakar tanah atau tembok," kata Sanem, terisak. Supaya tak kehujanan, dibuatkan sebuah payon (pelindung) dari seng. Makan pun disodorkan begitu saja. Kalaupun tak diberi makan, Supri tak pernah berteriak lapar. Sanem mengaku sebenarnya tidak tega melihat anaknya seperti itu. "Tapi, saya sudah bingung mau berbuat apa lagi," katanya.
Seperti Salamah, Supri sebenarnya juga murid yang cemerlang. Sekolah di SMK Ponorogo, Supri juga bintang kelas. Selalu juara satu. Namun, seminggu menjelang Ebtanas 1985, Supri tak pulang ke rumah. Sanem bingung. Setelah seminggu dicari, Supri ditemukan dalam keadaan linglung di salah satu pusat Kota Ponorogo.
---------------------------------------------------------------
Kardono Setyorakhmadi, Ponorogo (Redaksi JawaPos)
---------------------------------------------------------------
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Berita
dengan judul Kisah Desa Sinting Di Ponorogo. Jika kamu suka, jangan lupa like dan bagikan keteman-temanmu ya... By : Kilas Info
Ditulis oleh:
Unknown - Friday, July 22, 2011
Belum ada komentar untuk "Kisah Desa Sinting Di Ponorogo"
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Secara Bijaksana.
Jangan Harap Komentar Isi Link Akan Saya Tampilkan.
Untuk Mendapatkan Backlink Silahkan Menggunakan OpenID Atau Format Nama & Url Pada Kolom Pengirim.